Tertawa di
atas Derita rakyat Jelata.
Tentara ada di mana-mana, menggendong senjata ke
mana-mana. Arah todongan dan bidikan senjata pun bukan kepada musuh rakyat
tetapi kepada rakyat miskin itu sendiri. Berdiri paling gagah di garda
paling depan untuk melindungi kekuasaan modal. Bagi mereka merepresif dan
menembak rakyat adalah hal yang wajar, salah kalau rakyat berteriak kencang dan
menyuarakan hak-hak ekonomi poltiknya sendiri. Organisasi boleh saja, asal
jangan ganggu kenyamanan investasi modal. Sehingga di mana ada perlawanan
rakyat yang menuntut keadilan maka di sana juga pasti ada si loreng yang siap
menghadang dan mengarahkan moncong senjata kepada rakyat untuk menjadi
sasaran tembak.
Lahir dari
Rahim Penindas.
Kolonialisme sukses di Nusantara dan penindasan semakin menguat dengan
terus dikembangkannya sistem pengamanan dengan membuka sekolah-sekolah militer
di bawah naungan perwira-perwira lulusan Breda (sekolah
militer elit di Belanda), yang direkrut adalah pribumi-pribumi sebagai bintara
dan tamtama, mereka dapat fasilitas dan gaji. Sehingga, doktrin tentara sebagai
penjaga modal lahir dari pengalaman historis tentara Indonesia di bawah
KNIL (Koninkklijk
Nederlands Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda Kerajaan Belanda).
Paska rezim KNIL di ketentaraan Indonesia, datang ide kemiliteran yang tak
kalah sesatnya yaitu PETA (kyodo Beoi Giyugu/tentara sukarela pembela tanah air). Doktrin senasib-seperjuangan sebagai bangsa Asia
menjadikan sentimen anti Barat sebagai dasar utama identifikasi musuh, bahwa
segala yang datang dari Barat adalah musuh bangsa Timur, hal itu bertujuan agar
menguntungkan bagi kepentingan ekspansi Fasisme di Asia (diwakili Jepang)
melawan intervensi Barat (Amerika dan sekutu) di Hindia-Belanda, waktu itu.
Meskipun, sesama bangsa Timur, faktanya Jepang melakukan kejahatan kemanusiaan
di Indonesia (Kerja paksa).
Pada akhirnya, edukasi KNIL dan PETA terus diadopsi oleh kemiliteran
Indonesia. Hal itu menjadikan militer Indonesia mewarisi watak sebagai penjaga
modal dan nasionalisme sempit. Terlebih setelah upaya Hatta lewat kebijakan
RE-RA (restrukturasi dan rasionalisasi) yang sejatinya adalah kebijakan pesanan
Amerika Serikat yang bersumber dari: “Red Drive Proposal atau “Asal-usul
pembasmian kaum merah.” Kebijakan ini lebih meruncingkan pemisahan antara
tentara reguler (tentara yang pernah mengenyam pendidikan kemiliteran Belanda)
dan tentara non-reguler (rakyat bersenjata/laskar) semakin memisahkan tentara
reguler dengan rakyat yang juga berkontribusi dalam perjuangan bersenjata
merebut kemerdekaan, maka jadilah tentara professional yang dilembagakan, kini
dikenal dengan TNI. Artinya, perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya millik
tentara reguler, rakyat sipil juga berkontribusi atas perjuangan kemerdekaan,
tidak seperti yang diyakini oleh angkatan darat menjelang dan pasca 1965 bahwa
supremasi militer lebih tinggi ketimbang sipil karena militerlah yang berperan
merebut kemerdekaan. Landasan supremasi militer inilah yang kemudian
dipolitisir oleh Soeharto dengan terjemahan bahwa tentara memiliki hak dalam
pengendalian penuh atas stabilitas nasional, bahwa tentara harus memegang
kendali parlemen, sehingga porsi tentara termanifestasikan dalam Fraksi ABRI
dan ide Dwi Fungsi dan komando teritorial.
Di masa kepemimpinan Orde Lama, militer yang mendapat dukungan
dari CIA yang berkontribusi mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh
panglima militer di daerah-daerah. Akibat dari banyaknya
pemberontakan-pemberontakan di daerah luar Jawa, dan merasa pemerintah
pusat tidak berlaku adil. Hal ini memberi legitimasi bagi pihak
militer yang bersenjata ini untuk tampil di depan. Kekacauan dan pemberontakan
di daerah memberikan peluang bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan dengan
telah ditetapkannya situasi darurat negara. Kemudian militerlah yang
dilihat sebagai pahlawan, tentu ini sebuah cara busuk untuk meyakinkan bahwa
sipil sungguh tak layak dan belum mampu memimpin negeri.
Kekuatan militer yang terus menguat sejak tahun 60an, berhadapan dengan
kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengandalkan kekuatan
rakyat. Namun dengan telah diberi kewenangan untuk mengelola perusahan yang
telah dinasionalisasi ini menjadi kekuatan bagi para petinggi militer untuk
mengembangkan perusahan-perusahan baru. Baik di perbankan, pertambangan maupun
perkebunan. Kesempatan inilah menjadi ajang perkaya diri sendiri dan institusi
militer itu sendiri. Tentara pun
ikut berbisnis dan bukan menjadi rahasia umum lagi kalau bisnnis militer
digunakan menjadi deking berbagai macam bisnis yang melangar hukum. Baik itu
bisnis gelap maupun bisnis setengah gelap yang berhubungan dengan perjudian,
pembalakan liar, senjata gelap, penyelundupan dan lain sebagainya. Hasil
penelitian ICW ada terdapat tiga bentuk bisnis militer. Pertama, bisnis formal
di mana TNI terlibat dalam bisnis secara resmi lewat koperasi dan yayasan.
Kedua bisnis informal, di mana militer tidak terlibat secara institusi namun
secara individual. Ketiga, criminal economy (kriminal ekonomi) yang merupakan
perlindungan bagi pelaku bisnis gelap, narkoba, perjudian besar, jaminan
keamanan perusahan dan lain-lain. (baca: http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/06/militer-di-kanca-bisnis.html)
Senjata Mengatur Ekonomi Politik.
(Petani
harus terkapar demi pertahankan tanahnya yang direbut)
Rezim
Militeristik Orde Baru naik ke tampuk kekuasan, dengan cara yang
keji. Orde yang dibangun dengan kebohongan dan fitnah horor tentang tarian
harum bunga di lubang buaya ini. Berdiri di atas lumuran darah dan berjuta-juta
bangkai manusia, militer menjadi alat kekuasaan yang sangat menakutkan karena
membangun kediktatorannya. UU Penanaman modal Asing pun bercokol yang bebas
pajak bagi penanaman modal.
Sejak
ditetapkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 (pelarangan Ideologi Marxisme dan
Leninisme) yang disponsori oleh fraksi ABRI ini. Penghancurkan gerakan kiri dan
nasionalis radikal terjadi di mana-mana. Ribuan orang menjadi tahanan politik
tanpa pengadilan, sampai pada pencatuman ET pada KTP. Militer membangun
struktur kekuatan tidak hanya di bidang militer saja, tapi di bidang
sosial, budaya dan politik. Lewat Dwi fungsi ABRI, menjelma ke dalam seluruh
institusi politik baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Data yang dikumpulkan David Jenkins, pada pertengahan tahun 1970 saja terdapat
20.000 personil militer (mayoritas AD) melakukan apa yang di sebut “kekayaan”
menduduki jabatan dari menteri, duta besar, direktur BUMN, jabatan tinggi dalam
demokrasi, bankir, gebernur, sampai camat lurah, dan ketua RW/RT. Apalagi
tujuannya selain demi pelanggengan kekuasaan otoriter merupakan jaringan alat
pemaksa untuk memastikan berjalannya komando dari atas.
Tidak ada yang
lepas dari kontrol kendali militer di Orde Baru ini, penindasan secara ekonomi
dan politik. Penumpasan gerakan dan organisasi-organisasi kerakyatan, dan
penghancuran gagasan kritis dilakukan secara babi buta, brutal dan jauh dari
nilai kemanusiaan, terjadi di mana-mana baik secara fisik maupun psikis.
Sejarah dimanipulasi, media dikontrol, kebebasan beserikat dan berideologi pun
diberangus. Kejahatan kemanusiaan menghadirkan militer sebagai aktor dan dalang
utamanya, mulai dari pembantaain kaum kiri sejak 1965, penembakan
misterius, talangsari, kedung ombo, rakyat maubere, tanjung priok, marsinah,
kudatuli, timor leste, trisakti, semanggi hingga penculikan mahasiswa dan
pembunuhan aktivis di akhir kekuasaan. Berbagai upaya coba
dipertahankan rezim, dengan mengalihkan perhatian dengan berbagai macam isu
sara untuk mengalihan perhatian dan kebencian pada Soeharto.
Tumbangnya
rezim Soeharto oleh gerakan rakyat adalah capaian kuantitatif dalam gerakan
perlawanan rakyat di Indonesia, setidaknya pelajaran tentang perjuangan lewat
aksi massa yang merupakan senjata politik rakyat yang paling ampuh. Namun
capaian reformasi dengan dicabutnya dwi fungsi ABRI, adanya pemilu langsung,
sistem multi partai, otonomi daerah, bukan jaminan dari tegakknya bangunan dan
perjuangan demokrasi. Kebebasan belum didapatkan
sepenuhnya, masih ada pelarangan berserikat dan berideologi yang
diatur dalam TAP MPRS No XXV 1966. Terus meluasnya perluasan
teritori komando atau tak dapat mengembalikan tentara ke barak
walau telah dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI. Soeharto dan kekuatan
partai penopangnya (golkar) dan kroninya tak diadili beserta dengan
jenderal-jenderal pelanggar HAM lainnya yang lolos syarat kejahatan
kemanusiaan. Inilah alasan kegagalan reformasi yang belum sesungguhnya
melengserkan sistem kapitalis militeristik.
Kebangitan
militer dengan cara-cara militerisme pasca reformasi tidak bisa dipandang
sebelah mata, karena militerisme merupakan salah satu ancaman terbesar dari
perjuangan pro demokrasi. Mulai dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
elit militer di Maluku, Ternate dan Poso. Kasus Munir yang sampai saat ini juga
belum diadili tuntas, penembakan warga Degeuwo oleh anggota Polri pada Mei
2012, juga penyerangan warga Honai lama di Papua pada Juni 2012 serta
penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan warga Serui pada sepanjang Tahun
2012.
Pasca
reformasi, dalam kasus perampasan tanah, pembebasan lahan, dan konflik
pertambangan untuk kepentingan kapitalis bukan terjadi satu kali,
penembakan yang dilakukan Brimob Polda Sumatera selatan dalam sengketa lahan
Cinta manis kabupaten Ogan Hilir. Kasus Mesuji dan Bima juga bagian dari
rentetan kekejaman aparat militer. Di Urut Sewu Kebumen,
perseteruan-perseteruan antara warga dan militer yang disebabkan oleh klaim
palsu dari pihak TNI-AD atas tanah yang dijadikan area latihan perang berulang
kali merugikan warga. Warga terancam dengan akibat kehilangan tanah produktif
yang dipakai untuk kebutuhan pangan. Di banyak tempat juga perlawanan rakyat
selalu saja akan berhadapan dengan tentara, antara kaloborasi
negara-pengusaha-tentara baik tentara sebagai penjaga modal maupun sebagai
penguasa tanah itu sendiri. Mulai dari yang terjadi di Garut, Halmahera, Buluk
kumba, Luwu, Mesuji, Bima, Muko-Muko, Labuhan Batu dan beberapa tempat lainnya.
Sepanjang
2013, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 369 konflik agraria
dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 kepala
keluarga. Dari konflik tersebut tercatat 21 orang tewas, 30 tertembak, 130
dianiaya serta 239 orang ditangkap Polisi dan sebagian besar kasus penembakan
dan kekarasan dilakukan oleh militer, sisanya preman bayaran yang sudah
berafiliasi dengan aparat militer. Di pertengahan tahun 2014 ini saja banyak
kejahatan dan kekerasan dengan cara keji militerisme yang dilakukan oleh
aparat militer, diantaranya warga suku anak dalam dan petani Mentilangan di
desa bungku, Kecamatan Batanghari Jambi.
Di
setiap pabrik-pabrik ketika para buruh melakukan pemogokan menuntut standar
kelayakan hidup dengan tuntutan ekonomi dan politik pasti saja
akan berhadapan dengan militer. Seperti yang terjadi di tahun 2008 ketika
pekerja kereta api yang mengurusi tiket melakukan pemogokan kerja, militer
lantas mengambil alih penjagaan di setiap stasiun kereta. Dan bukan rahasia
umum lagi banyak anggota serikat pekerja yang mendapat intimidasi dari militer
ketika memperjuangkan haknya sebagai pekerja.
Gejolak Rembang dan Karawang.
(Dengan
gagah berani rakyat melawan perampasan tanah)
Bahkan
saat detik ini pun, gejolak perlawanan rakyat sedang terjadi.
Lagi-lagi rakyat miskin tak bersenjata harus berhadapan
dengan militer yang kelahirannya spesial untuk menumpas gerakan perlawanan
rakyat. Kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rembang yang menolak
penambangan Karst dan pembangunan Pabrik semen: PT. Semen Indonesia dan
juga perlawanan tani di tiga desa kabupaten Karawang, Jawa Barat yang
menolak eksekusi Pengadilan Negeri Karawang yang mengeksekusi lahan seluas 350
hektar. Ini adalah keputusan peninjauan kembali yang diajukan PT. Sumber Air
Panas Pratama bersama dengan PT. Agung Podomoro Land.
"Bisa
dibayangkan, apa yang akan terjadi jika warga dan petani yang siap mati untuk
mempetahankan tanahnya yang menolak eksekusi berhadap-hadapan dengan 7.000
Brimob dengan bersenjata lengkap yang akan melakukan eksekusi
paksa," ujar Hendra (kuasa hukum warga karawang)
Di saat
melakukakan eksekusi paksa, pera petani sempat melakukan unjuk rasa karena
merasa memilik bukti otentik kepemilikan lahan, namun apa mau dikata ketika
perlawanan rakyat miskin yang sedikit dan tanpa senjata harus berhadapan dengan
kekuatan tirani dengan tindakan yang berlebihan ribuan para bajingan bersenjata.
Begitu juga
yang dihadapi para petani di Rembang yang sebagian besarnya adalah para
perempuan ini dengan melakukan aksi protes dan pendudukan di sekitar
tapak PT. Semen Indonesia sejak senin 16 juni lalu, direspon secara tidak
manusiawi oleh aparat militer penjaga modal. Dibubarkan secara paksa, sejumlah
peserta aksi ditahan, diinjak, dan dipukuli, beberapa alat dokumentasi aksi
dari warga maupun wartawan pun dirampas paksa. Lokasi tambang Karst dan pabrik
semen terletak di pegunungan kendeng yang merupakan gunung kapur terlindungi,
sekaligus berada di cekungangan watu putih sebagai kawasan lindung imbuhan air
terlindungi. Keberlangsungan industri semen jelas akan menggusur lahan
pertanian yang menjadi sumber penghidupan warga. Tidak hanya melemahkan
ketahanan pangan daerah dan nasional, industri ini jelas akan berujung pada
bencana lingkungan. Tidak pernah ada informasi dan sosialisasi jelas mengenai
rencana pendirian pabrik. Yang ada hanya intimidasi di saat perjuangan warga
menuntut informasi dan kelestarian lingkungan.
Militer dan
militerisme adalah musuh rakyat, yang menghambat kemajuan rakyat tak
bersenjata. Ketika militer berkuasa, kekuatan rakyat akan tersubordinasi. Dalam
setiap kasus perlawanan rakyat pasti saja akan berhadapan dengan militer dan
cara-cara militerisme. Besok dan kedepannya menjadi akan lebih berbahaya
ketika militer berkuasa, banyak pelajaran sejarah yang sudah terjadi
beberapa waktu lalu dan juga persoalan hari ini yang dihadapi para tani di
Karawang dan Rembang adalah cerminan bejatnya para militer dan militerisme
itu sendiri. Tentu masih ingat dengan peristiwa Cebongan di Yogyakarta beberapa
waktu lalu, begitulah cara militerisme. Mahasiswa dan organisasi
progresif yang kritis dan berani akan disingkirkan dan sebagainya. Tentu
juga masi ingat dengan Slogan 4B ala rezim militer Orde Baru. (buru, bui,
bunuh, buang)
Kembalinya
militer ke panggung politik hari ini juga bukan lewat pintu belakang,
dengan berlenggak-lenggok serasa tanpa beban masuk ke parlemen lewat
partai politik, maupun dengan gampang mendirikan partai politik baru. Seperti
kembali di massa Orde Baru, para petinggi militer mulai pasang badan sebagai
kontestan di setiap pertarungan politik baik dari pusat sampai ke
kampung-kampung dengan menggunakan cara-cara curang! (intimidasi lewat Babinsa)
Ancaman oleh
negara hari ini lebih diperparah lagi dengan telah dikeluarkannya
berbagai macam suprastruktur penindasan (undang-undang) yang anti demokrasi,
seperti UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Desa, UU Keamanan Nasional, UU
Ormas yang sejatinya menghambat rakyat dalam menuntut kesejahtaeraan dan
menyilahkan eksistensi militer di ranah publik. Apalagi kalau bukan untuk
meredam gerakan perlawanan rakyat yang semakin hari semakin terasa dengan sudah
adanya mega proyek besar-besar seperti, MP3EI (Master Plan
Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Adalah salah satu
bentuk kebijakan ekonomi kapitalis yang pro dengan mekanisme pasar dan logika
investasi, dengan akan menanamkan modal di 6 koridor ekonomi di seluruh
Indonesia. Nah, UU anti demokrasi di ataslah yang akan membuka lebar jalan
masuknya monster pembunuh rakyat MP3EI. Karena yang diuntungkan adalah
perusahaan tambang atau para investor bukan rakyat.
Melawan atau Mati Tertindas.
Bagi rakyat
tertindas dan yang sadar akan perjuangan kelas, tidak ada landasan untuk tidak
melawan militer dan cara-cara militerisme, sebagai tanggung jawab sejarah.
Membiarkan kembalinya militer berkuasa sama halnya dengan
melegitimasi penindasan dan pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat miskin.
Militerisme yang muncul lagi sebagai sebuah ideologi yang anti demokrasi akan
sangat mengancam bagi kekuatan rakyat dan terhimpitnya demokrasi demi
kepentingan modal. Buktinya dengan banyaknya para elit militer yang terlibat
dalam kasus pelanggaran HAM, tak ada satupun yang diadili. Sekejam Soeharto
hanya diadili terkait dengan kasus penggelapan pajak yayasannya. Kroni-kroni
elit militer yang juga para pelanggar HAM lolos dari jangkauan hukum
dan bebas hingga tampil di pemilu dan hari ini bertaburan di segala
partai elit yang ada. Mengekor pada Kesadaran palsu mayoritas massa
rakyat hari ini yang terilusi, adalah barang haram bagi gerakan rakyat
revolusioner, apalagi sampai termakan senyum manis para pelanggar HAM yang
seakan mati rasa dari sengatan dosa kejahatan kemanusiaan. Tidak ada perubahan
watak dan konsep militer di Orde Baru dan sekarang, baik Wiranto (Hanura),
Pramono Edhie Wibowo (Demokrat), dan Sutiyoso (PKPI) dll, semuanya terlibat
kasus pelanggaran HAM. Dan bahaya bagi masa depan demokrasi ketika mereka
berkuasa.
Dari deretan
nama elit militer di atas yang paling berbahaya adalah Prabowo, apalagi dengan
lolos sebagai salah satu capres yang siap bertarung di pilpres 9 juli
mendatang. Karir militernya sangat sukses hingga ia dipecat dari angkatan
bersenjata tahun 1998. Selama karirnya dalam militer, menduduki sejumlah posisi
yang bergengsi seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo
mendapatkan pelatihan militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan
di Jerman tahun 1981 dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS,
pada tahun yang sama. Setelah rezim Orba jatuh, Prabowo kabur ke Jordania,
menjadi pengusaha sukses dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan,
kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Menjadi landasan utama aktor
Orde Baru yang memberangus gerakan perlawanan rakyat.
Prabowo adalah salah tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan pemberontakan di Timor-Timur dan bertanggung jawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggung jawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya Soeharto (mertua Prabowo). Selain itu, setelah Prabowo bebas dari kasus pelanggaran HAM, bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, ia mengembangkan bisnis keluarganya. Hasyim lah yang memiliki kontribusi besar pendanaan dalam pembentukan milisi-milisi yang di bawa kendali Prabowo demi mengamankan Bisnis keluarganya ketika Prabowo menjabat Danjen Kopasus. Perusahaan keluarga Prabowo sanggup membuka perusahaan di luar negeri. Tirtamas Comexindo memiliki cabang di Vietnam sampai Afrika Selatan, dari Jenewa sampai Jordania.
Jika Prabowo
menang, malapetaka bagi kekuatan rakyat. Demokrasi akan diletakakan di bawah
moncong senjata. Apalagi bagi imperialisme atau kapitalis internasional yang
sangat berkepentingan dengan Indonesia sebagai negara yang kaya akan
sumber daya alam, goegrafis yang sangat strategis, dan pasar bagi imperialisme
ini yang tentunya akan merestui presiden berasal dari kalangan militer
dan tegas pastinya. Paling tidak dengan alasan stabilitas bisa memberi
rasa aman, kenyaman, dan jaminan bagi investasi modal.
Memang pemilu
borjuis 2014 tidak merubah perbaikan kehidupan rakyat, dan layak ditolak.
Karena hanya diisi oleh para kontestan pelanggar HAM, pro kapitalis,
perusak lingkungan, pro diskriminasi, perampas tanah rakyat. Namun sangat
menentukan kehidupan politik selanjutnya. Artinya di antara
tidak adanya calon presiden yang benar-benar pro terhadap rakyat miskin
namun intervensi pemilu dengan mengkampanyekan lawan militerisme
dan hadang para pelanggar HAM perlu digelorakan. Jokowi pun bukan
jalan keluar kepemimpinan yang pro terhadap rakyat. Sebab populisme,
blusukan, pakai pakaian murah, dan sering naik angkot itu bukan cerminan dari
pemimpin yang bela rakyat miskin, harus diukur dari program ekonomi politik
yang di tawarkan. Artinya jokowi sudah pasti tidak merubah keadaan,
namun kalau Prabowo berkuasa malah lebih memperburuk keadaan demokrasi
baik secara ekonomi maupun politik.
Sejatinya
rakyat tidak anti dengan militer, sebagai sebuah kekuatan dan pertahanan tentu
ia sangat dibutuhkan. Tapi pertahanan untuk rakyat dan berasal dari tentara
rakyat. Berjuang untuk menahan serangan militer dari
negeri-negari imperialisme bukan menjadi militer penindas atau antek
imperialisme serta pro terhadap pekerja bukan kapital.
Kebutuhan Mendesak.
Hal terpenting
yang harus dilakukan rakyat hari ini adalah membangun kekuatan politiknya
sendiri, kekuatan yang dibangun dari bawah. Sebab bukan di tangan elit dan
partai elit, bukan di tangan modal, atau bukan di tangan tentara. Karena mereka
hanya akan menindas rakyat. Harus ada persatuan di antara gerakan rakyat,
buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, dan seluruh elemen rakyat tertindas
lainnya. Kita sudah belajar dari sejarah, bahwa gerakan rakyat jika
bersatu bisa mengalahkan kekuatan apapun termasuk tentara dan segala bentuk
militerisme yang berwatak penindas.
Pena: Herman
Sidete (Laki-laki tangguh ini adalah kader PEMBEBASAN, yang tulus membangun
perlawanan rakyat, melalui artikelnya dan terjun lansung mengorganisir rakyat)
Referensi:
- http://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-kekerasan-tni-terhadap-suku-anak-dalam-dikecam.html
- http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/04/tolak-pemilu-borjuis-2014-lawan.html
- http://www.spi.or.id/?p=7052
- http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/06/militer-di-kanca-bisnis.html
- http://pembebasan-pusat.blogspot.com/2011/04/sikap-politik-pembebasan-solidaritas.html
- Harsutedjo, kamus
kejahatan orba. Komunitas banmu. Jakarta :2010
Refrensi
Gambar: Ata Bu (Seorang yang rendah hati, tulus berjuang untuk kaum tertindas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar