Militerisme Ada Dimana-mana!








Tertawa di atas Derita rakyat Jelata.



Tentara ada di mana-mana, menggendong senjata ke mana-mana. Arah todongan dan bidikan senjata pun bukan kepada musuh rakyat tetapi kepada rakyat miskin itu sendiri. Berdiri paling gagah di garda paling depan untuk melindungi kekuasaan modal. Bagi mereka merepresif dan menembak rakyat adalah hal yang wajar, salah kalau rakyat berteriak kencang dan menyuarakan hak-hak ekonomi poltiknya sendiri. Organisasi boleh saja, asal jangan ganggu kenyamanan investasi modal. Sehingga di mana ada perlawanan rakyat yang menuntut keadilan maka di sana juga pasti ada si loreng yang siap menghadang dan mengarahkan moncong senjata kepada rakyat untuk menjadi sasaran tembak.



Lahir dari Rahim Penindas.


Kolonialisme sukses di Nusantara dan penindasan semakin menguat dengan terus dikembangkannya sistem pengamanan dengan membuka sekolah-sekolah militer di bawah naungan perwira-perwira lulusan Breda (sekolah militer elit di Belanda), yang direkrut adalah pribumi-pribumi sebagai bintara dan tamtama, mereka dapat fasilitas dan gaji. Sehingga, doktrin tentara sebagai penjaga modal lahir dari pengalaman historis tentara Indonesia di bawah KNIL (Koninkklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda Kerajaan Belanda).


Paska rezim KNIL di ketentaraan Indonesia, datang ide kemiliteran yang tak kalah sesatnya yaitu PETA (kyodo Beoi Giyugu/tentara sukarela pembela tanah air). Doktrin senasib-seperjuangan sebagai bangsa Asia menjadikan sentimen anti Barat sebagai dasar utama identifikasi musuh, bahwa segala yang datang dari Barat adalah musuh bangsa Timur, hal itu bertujuan agar menguntungkan bagi kepentingan ekspansi Fasisme di Asia (diwakili Jepang) melawan intervensi Barat (Amerika dan sekutu) di Hindia-Belanda, waktu itu. Meskipun, sesama bangsa Timur, faktanya Jepang melakukan kejahatan kemanusiaan di Indonesia (Kerja paksa).
  

Pada akhirnya, edukasi KNIL dan PETA terus diadopsi oleh kemiliteran Indonesia. Hal itu menjadikan militer Indonesia mewarisi watak sebagai penjaga modal dan nasionalisme sempit. Terlebih setelah upaya Hatta lewat kebijakan RE-RA (restrukturasi dan rasionalisasi) yang sejatinya adalah kebijakan pesanan Amerika Serikat yang bersumber dari: “Red Drive Proposal atau “Asal-usul pembasmian kaum merah.” Kebijakan ini lebih meruncingkan pemisahan antara tentara reguler (tentara yang pernah mengenyam pendidikan kemiliteran Belanda) dan tentara non-reguler (rakyat bersenjata/laskar) semakin memisahkan tentara reguler dengan rakyat yang juga berkontribusi dalam perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan, maka jadilah tentara professional yang dilembagakan, kini dikenal dengan TNI. Artinya, perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya millik tentara reguler, rakyat sipil juga berkontribusi atas perjuangan kemerdekaan, tidak seperti yang diyakini oleh angkatan darat menjelang dan pasca 1965 bahwa supremasi militer lebih tinggi ketimbang sipil karena militerlah yang berperan merebut kemerdekaan. Landasan supremasi militer inilah yang kemudian dipolitisir oleh Soeharto dengan terjemahan bahwa tentara memiliki hak dalam pengendalian penuh atas stabilitas nasional, bahwa tentara harus memegang kendali parlemen, sehingga porsi tentara termanifestasikan dalam Fraksi ABRI dan ide Dwi Fungsi dan komando teritorial.


Di masa kepemimpinan Orde Lama, militer yang  mendapat dukungan dari CIA yang berkontribusi mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh panglima militer di daerah-daerah. Akibat dari banyaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah luar Jawa, dan merasa pemerintah pusat  tidak berlaku adil. Hal ini memberi legitimasi bagi pihak militer yang bersenjata ini untuk tampil di depan. Kekacauan dan pemberontakan di daerah memberikan peluang bagi militer untuk mengambil alih kekuasaan dengan telah ditetapkannya situasi darurat negara. Kemudian  militerlah yang dilihat sebagai pahlawan, tentu ini sebuah cara busuk untuk meyakinkan bahwa sipil sungguh tak layak dan belum mampu memimpin negeri.



Kekuatan militer yang terus menguat sejak tahun 60an, berhadapan dengan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengandalkan kekuatan rakyat. Namun dengan telah diberi kewenangan untuk mengelola perusahan yang telah dinasionalisasi ini menjadi kekuatan bagi para petinggi militer untuk mengembangkan perusahan-perusahan baru. Baik di perbankan, pertambangan maupun perkebunan. Kesempatan inilah menjadi ajang perkaya diri sendiri dan institusi militer itu sendiri. Tentara pun ikut berbisnis dan bukan menjadi rahasia umum lagi kalau bisnnis militer digunakan menjadi deking berbagai macam bisnis yang melangar hukum. Baik itu bisnis gelap maupun bisnis setengah gelap yang berhubungan dengan perjudian, pembalakan liar, senjata gelap, penyelundupan dan lain sebagainya. Hasil penelitian ICW ada terdapat tiga bentuk bisnis militer. Pertama, bisnis formal di mana TNI terlibat dalam bisnis secara resmi lewat koperasi dan yayasan. Kedua bisnis informal, di mana militer tidak terlibat secara institusi namun secara individual. Ketiga, criminal economy (kriminal ekonomi) yang merupakan perlindungan bagi pelaku bisnis gelap, narkoba, perjudian besar, jaminan keamanan perusahan dan lain-lain. (baca: http://pembebasanjogja.blogspot.com/2014/06/militer-di-kanca-bisnis.html)




Senjata Mengatur Ekonomi Politik.





 (Petani harus terkapar demi pertahankan tanahnya yang direbut)


Rezim Militeristik Orde Baru naik ke tampuk kekuasan, dengan  cara yang keji. Orde yang dibangun dengan kebohongan dan fitnah horor tentang tarian harum bunga di lubang buaya ini. Berdiri di atas lumuran darah dan berjuta-juta bangkai manusia, militer menjadi alat kekuasaan yang sangat menakutkan karena membangun kediktatorannya. UU Penanaman modal Asing pun bercokol yang bebas pajak bagi penanaman modal.


Sejak ditetapkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 (pelarangan Ideologi Marxisme dan Leninisme) yang disponsori oleh fraksi ABRI ini. Penghancurkan gerakan kiri dan nasionalis radikal terjadi di mana-mana. Ribuan orang menjadi tahanan politik tanpa pengadilan, sampai pada pencatuman ET pada KTP. Militer membangun struktur kekuatan tidak hanya di bidang militer saja, tapi di bidang sosial, budaya dan politik. Lewat Dwi fungsi ABRI, menjelma ke dalam seluruh institusi politik baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Data yang dikumpulkan David Jenkins, pada pertengahan tahun 1970 saja terdapat 20.000 personil militer (mayoritas AD) melakukan apa yang di sebut “kekayaan” menduduki jabatan dari menteri, duta besar, direktur BUMN, jabatan tinggi dalam demokrasi, bankir, gebernur, sampai camat lurah, dan ketua RW/RT. Apalagi tujuannya selain demi pelanggengan kekuasaan otoriter merupakan jaringan alat pemaksa untuk memastikan berjalannya komando dari atas.


Tidak ada yang lepas dari kontrol kendali militer di Orde Baru ini, penindasan secara ekonomi dan politik. Penumpasan gerakan dan organisasi-organisasi kerakyatan, dan penghancuran gagasan kritis dilakukan secara babi buta, brutal dan jauh dari nilai kemanusiaan, terjadi di mana-mana baik secara fisik maupun psikis. Sejarah dimanipulasi, media dikontrol, kebebasan beserikat dan berideologi pun diberangus. Kejahatan kemanusiaan menghadirkan militer sebagai aktor dan dalang utamanya, mulai dari pembantaain kaum kiri sejak 1965, penembakan misterius, talangsari, kedung ombo, rakyat maubere, tanjung priok, marsinah, kudatuli, timor leste, trisakti, semanggi hingga penculikan mahasiswa dan pembunuhan aktivis di akhir kekuasaan. Berbagai upaya coba dipertahankan rezim, dengan mengalihkan perhatian dengan berbagai macam isu sara untuk mengalihan perhatian dan kebencian pada Soeharto.


Tumbangnya rezim Soeharto oleh gerakan rakyat adalah capaian kuantitatif dalam gerakan perlawanan rakyat di Indonesia, setidaknya pelajaran tentang perjuangan lewat aksi massa yang merupakan senjata politik rakyat yang paling ampuh. Namun capaian reformasi dengan dicabutnya dwi fungsi ABRI, adanya pemilu langsung, sistem multi partai, otonomi daerah, bukan jaminan dari tegakknya bangunan dan perjuangan demokrasi. Kebebasan belum didapatkan sepenuhnya,  masih ada pelarangan berserikat dan berideologi yang diatur dalam  TAP MPRS  No XXV 1966. Terus meluasnya perluasan teritori komando atau tak dapat mengembalikan tentara ke barak walau  telah dihapuskannya Dwi Fungsi ABRI. Soeharto dan kekuatan partai penopangnya (golkar) dan kroninya tak diadili beserta dengan jenderal-jenderal pelanggar HAM lainnya yang lolos syarat kejahatan kemanusiaan. Inilah alasan kegagalan reformasi yang belum sesungguhnya melengserkan sistem kapitalis militeristik.


Kebangitan militer dengan cara-cara militerisme pasca reformasi tidak bisa dipandang sebelah mata, karena militerisme merupakan salah satu ancaman terbesar dari perjuangan pro demokrasi. Mulai dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh elit militer di Maluku, Ternate dan Poso. Kasus Munir yang sampai saat ini juga belum diadili tuntas, penembakan warga Degeuwo oleh anggota Polri pada Mei 2012, juga penyerangan warga Honai lama di Papua pada Juni 2012 serta penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan warga Serui pada sepanjang Tahun 2012.


Pasca reformasi, dalam kasus perampasan tanah, pembebasan lahan, dan konflik pertambangan untuk kepentingan kapitalis bukan terjadi satu kali, penembakan yang dilakukan Brimob Polda Sumatera selatan dalam sengketa lahan Cinta manis kabupaten Ogan Hilir. Kasus Mesuji dan Bima juga bagian dari rentetan kekejaman aparat militer. Di Urut Sewu Kebumen, perseteruan-perseteruan antara warga dan militer yang disebabkan oleh klaim palsu dari pihak TNI-AD atas tanah yang dijadikan area latihan perang berulang kali merugikan warga. Warga terancam dengan akibat kehilangan tanah produktif yang dipakai untuk kebutuhan pangan. Di banyak tempat juga perlawanan rakyat selalu saja akan berhadapan dengan tentara, antara kaloborasi negara-pengusaha-tentara baik tentara sebagai penjaga modal maupun sebagai penguasa tanah itu sendiri. Mulai dari yang terjadi di Garut, Halmahera, Buluk kumba, Luwu, Mesuji, Bima, Muko-Muko, Labuhan Batu dan beberapa tempat lainnya.


Sepanjang 2013, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 kepala keluarga. Dari konflik tersebut tercatat 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 dianiaya serta 239 orang ditangkap Polisi dan sebagian besar kasus penembakan dan kekarasan dilakukan oleh militer, sisanya preman bayaran yang sudah berafiliasi dengan aparat militer. Di pertengahan tahun 2014 ini saja banyak kejahatan dan kekerasan dengan cara keji militerisme yang dilakukan oleh aparat militer, diantaranya warga suku anak dalam dan petani Mentilangan di desa bungku, Kecamatan Batanghari Jambi.


Di setiap pabrik-pabrik ketika para buruh melakukan pemogokan menuntut standar kelayakan hidup dengan tuntutan ekonomi dan politik pasti saja akan berhadapan dengan militer. Seperti yang terjadi di tahun 2008 ketika pekerja kereta api yang mengurusi tiket melakukan pemogokan kerja, militer lantas mengambil alih penjagaan di setiap stasiun kereta. Dan bukan rahasia umum lagi banyak anggota serikat pekerja yang mendapat intimidasi dari militer ketika memperjuangkan haknya sebagai pekerja.




Gejolak Rembang dan Karawang.





(Dengan gagah berani rakyat melawan perampasan tanah)



Bahkan saat detik ini pun, gejolak perlawanan rakyat sedang terjadi. Lagi-lagi  rakyat miskin tak bersenjata harus berhadapan dengan militer yang kelahirannya spesial untuk menumpas gerakan perlawanan rakyat. Kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rembang yang menolak penambangan Karst dan pembangunan Pabrik semen: PT. Semen Indonesia dan juga perlawanan tani di tiga desa kabupaten Karawang, Jawa Barat yang menolak eksekusi Pengadilan Negeri Karawang yang mengeksekusi lahan seluas 350 hektar. Ini adalah keputusan peninjauan kembali yang diajukan PT. Sumber Air Panas Pratama bersama dengan PT. Agung Podomoro Land.


"Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika warga dan petani yang siap mati untuk mempetahankan tanahnya yang menolak eksekusi berhadap-hadapan dengan 7.000 Brimob dengan bersenjata lengkap yang akan melakukan eksekusi paksa,"  ujar Hendra (kuasa hukum warga karawang)


Di saat melakukakan eksekusi paksa, pera petani sempat melakukan unjuk rasa karena merasa memilik bukti otentik kepemilikan lahan, namun apa mau dikata ketika perlawanan rakyat miskin yang sedikit dan tanpa senjata harus berhadapan dengan kekuatan tirani dengan tindakan yang berlebihan ribuan para bajingan bersenjata.


Begitu juga yang dihadapi para petani di Rembang yang sebagian besarnya adalah para perempuan ini dengan melakukan aksi protes dan pendudukan di sekitar tapak PT. Semen Indonesia sejak senin 16 juni lalu, direspon secara tidak manusiawi oleh aparat militer penjaga modal. Dibubarkan secara paksa, sejumlah peserta aksi ditahan, diinjak, dan dipukuli, beberapa alat dokumentasi aksi dari warga maupun wartawan pun dirampas paksa. Lokasi tambang Karst dan pabrik semen terletak di pegunungan kendeng yang merupakan gunung kapur terlindungi, sekaligus berada di cekungangan watu putih sebagai kawasan lindung imbuhan air terlindungi. Keberlangsungan industri semen jelas akan menggusur lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan warga. Tidak hanya melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional, industri ini jelas akan berujung pada bencana lingkungan. Tidak pernah ada informasi dan sosialisasi jelas mengenai rencana pendirian pabrik. Yang ada hanya intimidasi di saat perjuangan warga menuntut informasi dan kelestarian lingkungan.


Militer dan militerisme adalah musuh rakyat, yang menghambat kemajuan rakyat tak bersenjata. Ketika militer berkuasa, kekuatan rakyat akan tersubordinasi. Dalam setiap kasus perlawanan rakyat pasti saja akan berhadapan dengan militer dan cara-cara militerisme. Besok dan kedepannya menjadi akan lebih berbahaya ketika militer berkuasa, banyak pelajaran sejarah yang sudah terjadi beberapa waktu lalu dan juga persoalan hari ini yang dihadapi para tani di Karawang dan Rembang adalah cerminan bejatnya para militer dan militerisme itu sendiri. Tentu masih ingat dengan peristiwa Cebongan di Yogyakarta beberapa waktu lalu, begitulah cara militerisme. Mahasiswa dan organisasi progresif yang kritis dan berani akan disingkirkan dan sebagainya. Tentu juga masi ingat dengan Slogan 4B ala rezim militer Orde Baru. (buru, bui, bunuh, buang)


Kembalinya militer ke panggung politik hari ini juga bukan lewat pintu belakang, dengan berlenggak-lenggok serasa tanpa beban masuk ke parlemen lewat partai politik, maupun dengan gampang mendirikan partai politik baru. Seperti kembali di massa Orde Baru, para petinggi militer mulai pasang badan sebagai kontestan di setiap pertarungan politik baik dari pusat sampai ke kampung-kampung dengan menggunakan cara-cara curang! (intimidasi lewat Babinsa)



Ancaman oleh negara hari ini  lebih diperparah lagi dengan telah dikeluarkannya berbagai macam suprastruktur penindasan (undang-undang) yang anti demokrasi, seperti UU Penanggulangan Konflik Sosial, UU Desa, UU Keamanan Nasional, UU Ormas yang sejatinya menghambat rakyat dalam menuntut kesejahtaeraan dan menyilahkan eksistensi militer di ranah publik. Apalagi kalau bukan untuk meredam gerakan perlawanan rakyat yang semakin hari semakin terasa dengan sudah adanya mega proyek besar-besar seperti, MP3EI (Master  Plan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia). Adalah salah satu bentuk kebijakan ekonomi kapitalis yang pro dengan mekanisme pasar dan logika investasi, dengan akan menanamkan modal di 6 koridor ekonomi di seluruh Indonesia. Nah, UU anti demokrasi di ataslah yang akan membuka lebar jalan masuknya monster pembunuh rakyat MP3EI. Karena yang diuntungkan adalah perusahaan tambang atau para investor bukan rakyat.




Melawan atau Mati Tertindas.

Bagi rakyat tertindas dan yang sadar akan perjuangan kelas, tidak ada landasan untuk tidak melawan militer dan cara-cara militerisme, sebagai tanggung jawab sejarah. Membiarkan kembalinya militer berkuasa sama halnya dengan melegitimasi penindasan dan pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat miskin. Militerisme yang muncul lagi sebagai sebuah ideologi yang anti demokrasi akan sangat mengancam bagi kekuatan rakyat dan terhimpitnya demokrasi demi kepentingan modal. Buktinya dengan banyaknya para elit militer yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM, tak ada satupun yang diadili. Sekejam Soeharto hanya diadili terkait dengan kasus penggelapan pajak yayasannya. Kroni-kroni elit militer  yang juga para pelanggar HAM lolos dari jangkauan hukum dan bebas hingga tampil di pemilu dan hari ini  bertaburan di segala partai elit yang ada. Mengekor pada  Kesadaran palsu mayoritas massa rakyat hari ini yang terilusi, adalah barang haram bagi gerakan rakyat revolusioner, apalagi sampai termakan senyum manis para pelanggar HAM yang seakan mati rasa dari sengatan dosa kejahatan kemanusiaan. Tidak ada perubahan watak dan konsep militer di Orde Baru dan sekarang, baik Wiranto (Hanura), Pramono Edhie Wibowo (Demokrat), dan Sutiyoso (PKPI) dll, semuanya terlibat kasus pelanggaran HAM. Dan bahaya bagi masa depan demokrasi ketika mereka berkuasa.

  
Dari deretan nama elit militer di atas yang paling berbahaya adalah Prabowo, apalagi dengan lolos sebagai salah satu capres yang siap bertarung di pilpres 9 juli mendatang. Karir militernya sangat sukses hingga ia dipecat dari angkatan bersenjata tahun 1998. Selama karirnya dalam militer, menduduki sejumlah posisi yang bergengsi seperti Panglima Kopassus dan Panglima Kostrad. Prabowo mendapatkan pelatihan militer dan mengambil kursus pemberantasan pemberontakan di Jerman tahun 1981 dan Kursus Perwira Angkatan Khusus di Fort Benning, AS, pada tahun yang sama. Setelah rezim Orba jatuh, Prabowo kabur ke Jordania, menjadi pengusaha sukses dan CEO beberapa perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, kertas, pertanian dan perkebunan kelapa sawit. Menjadi landasan utama aktor Orde Baru yang memberangus gerakan perlawanan rakyat.


Prabowo adalah salah tokoh kunci dalam kegiatan penumpasan pemberontakan di Timor-Timur dan bertanggung jawab atas pelatihan dan pembiayaan kelompok milisi yang merajalela di sana tahun 1999. Sebagai komandan unit baret merah yang terkenal, Prabowo juga bertanggung jawab terhadap penculikan dan hilangnya sejumlah aktivis pro-demokrasi beberapa hari sebelum jatuhnya Soeharto (mertua Prabowo). Selain itu, setelah Prabowo bebas dari kasus pelanggaran HAM, bersama adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, ia mengembangkan bisnis keluarganya. Hasyim lah yang memiliki kontribusi besar pendanaan dalam pembentukan milisi-milisi yang di bawa kendali Prabowo demi mengamankan Bisnis keluarganya ketika Prabowo menjabat Danjen Kopasus. Perusahaan keluarga Prabowo sanggup membuka perusahaan di luar negeri. Tirtamas Comexindo memiliki cabang di Vietnam sampai Afrika Selatan, dari Jenewa sampai Jordania.


Jika Prabowo menang, malapetaka bagi kekuatan rakyat. Demokrasi akan diletakakan di bawah moncong senjata. Apalagi bagi imperialisme atau kapitalis internasional yang sangat berkepentingan dengan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, goegrafis yang sangat strategis, dan pasar bagi imperialisme ini yang tentunya akan merestui presiden berasal dari kalangan militer dan tegas pastinya. Paling tidak dengan alasan stabilitas bisa memberi rasa aman,  kenyaman, dan jaminan bagi investasi modal.


Memang pemilu borjuis 2014 tidak merubah perbaikan kehidupan rakyat, dan layak ditolak. Karena  hanya diisi oleh para kontestan pelanggar HAM, pro kapitalis, perusak lingkungan, pro diskriminasi, perampas tanah rakyat. Namun sangat menentukan kehidupan politik selanjutnya.  Artinya di antara tidak adanya calon presiden yang benar-benar pro terhadap rakyat miskin namun intervensi pemilu dengan mengkampanyekan lawan militerisme dan  hadang para pelanggar HAM perlu digelorakan. Jokowi pun bukan jalan keluar kepemimpinan yang pro terhadap rakyat. Sebab populisme, blusukan, pakai pakaian murah, dan sering naik angkot itu bukan cerminan dari pemimpin yang bela rakyat miskin, harus diukur dari program ekonomi politik yang di tawarkan. Artinya jokowi sudah pasti tidak merubah keadaan, namun kalau Prabowo berkuasa malah lebih memperburuk keadaan demokrasi baik secara ekonomi maupun politik.



Sejatinya rakyat tidak anti dengan militer, sebagai sebuah kekuatan dan pertahanan tentu ia sangat dibutuhkan. Tapi pertahanan untuk rakyat dan berasal dari tentara rakyat. Berjuang  untuk menahan serangan militer dari negeri-negari imperialisme bukan menjadi militer penindas atau antek imperialisme serta pro terhadap pekerja bukan kapital.




Kebutuhan Mendesak.

Hal terpenting yang harus dilakukan rakyat hari ini adalah membangun kekuatan politiknya sendiri, kekuatan yang dibangun dari bawah. Sebab bukan di tangan elit dan partai elit, bukan di tangan modal, atau bukan di tangan tentara. Karena mereka hanya akan menindas rakyat. Harus ada persatuan di antara gerakan rakyat, buruh, tani, kaum miskin kota, perempuan, dan seluruh elemen rakyat tertindas lainnya. Kita sudah belajar dari sejarah, bahwa gerakan rakyat jika bersatu bisa mengalahkan kekuatan apapun termasuk tentara dan segala bentuk militerisme yang berwatak penindas.






Pena: Herman Sidete (Laki-laki tangguh ini adalah kader PEMBEBASAN, yang tulus membangun perlawanan rakyat, melalui artikelnya dan terjun lansung mengorganisir rakyat)




Referensi:


Refrensi Gambar: Ata Bu (Seorang yang rendah hati, tulus berjuang untuk kaum tertindas).

Unknown

Mari Berteman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar